Sabtu, 12 Maret 2011

MEMAHAMI KELUGUAN ISTRI


KELUGUAN SEORANG ISTRI
Anda boleh terhenyak, saat mendengar sebuah cuplikan berita, seorang istri dengan sadis membunuh suaminya sendiri, memutilasi tubuhnya menjadi beberapa keping, membungkusnya dalam tanah. Sadis.
Namun, wanita seperti itu –dibalik dugaan bahwa ia mengidap penyakit jiwa— tetaplah seorang wanita dengan keluguannya yang khas.
Ia menyangka, bahwa membunuh suaminya yang begitu kejam terhadapnya selama ini adalah balasan setimpal atas penderitaannya selama ini. Itu emosi khas seorang wanita. Emosi itulah, yang bila diperturutkan, akan menutup jalan mengenali realita, bahwa hidup di penjara sekian tahun, kehilangan suami untuk selama-lamanya, dan ancaman adzab neraka bila ia tak segera bertobat, sungguh jauh lebih menakutkan dari sekadar penderitaan akibat tamparan dan makian suami selama ini. Akan tetapi, itulah salah satu manifestasi dari keluguan seorang wanita, yang terjebak dalam nuansa kebodohan dan kekeringan ilmu. Karena emosi mengejar tikus, lumbung dibakar. Sungguh naas dia.
Maaf, bila saya memulai artikel ini dengan pemaparan realita yang terkesan menyeramkan. Namun yakinlah, bahwa realita itu hanya merupakan teguran atas keteledoran-keteledoran yang selama ini banyak dilakukan di tengah masyarakat kita, menghadapi “keluguan” seorang wanita.
Dalam skala yang bercorakragam, kita pasti pernah mengalaminya dalam hidup. Nah, untuk kaum suami, kaum bapak, mari membuat sebuah perenungan singkat tentang realita-realita kecil di sekitar kita. “Perlakukanlah wanita itu dengan baik, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Sementara bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Kalau kita tergesa-gesa membetulkannya, ia akan patah. Namun kalau kita biarkan, ia akan tetap bengkok. Maka perlakukanlah kaum wanita dengan baik.” [1]
Hadits ini menggambarkan, betapa lugunya seorang wanita.
Saat dibentak, ia akan merasa begitu dibenci. Saat dibiarkan, ia merasa mendapat izin untuk melakukan apapun yang dia mau.
Saat dipaksa menghentikan perbuatannya yang keliru, ia merasa sang suami tak lagi punya kasih sayang terhadapnya. Saat tidak ditegur ketika berbuat salah, ia menganggap suami telah berubah aliran dalam keyakinannya!!!
Maka, jangan menganggap bahwa seorang istri akan lupa atas setiap kekeliruan yang dilakukan oleh suami di masa lampau. Memori itu akan tersimpan, dan digunakan sebagai pemukul balik, saat si istri melakukan hal yang sama. “Ah, papa juga dulu begitu...”

MEMBIMBING KELUGUAN, DENGAN KECERDASAN
Dalam kecerdasan emosional, wanita umumnya adalah setengah laki-laki. Seorang lelaki yang bijak, akan selalu memompa kemampuan dan kecerdasan emosinya, untuk mengimbangi beragam implementasi dari keluguan-keluguan khas wanita.
Ibarat jurus dalam bela diri: melawan kekerasan, dengan kelenturan. Maka, setiap suami harus menyadari, bahwa tidak setiap kemarahan wanita adalah kemarahan. Tidak setiap tangisannya adalah tangisan. Terkadang seorang wanita marah atas kekeliruan kecil yang dilakukan suaminya, namun ia balik bersikap lembut dan penuh toleransi saat diberi jatah uang belanjanya lebih dini. Kemarahan wanita, seringkali muncul karena “diciptakan”, bukan sekadar karena dibiarkan.
Seringkali seorang suami membalas kemarahan khas wanita itu, dengan kemarahan sesungguhnya. Emosi wanita yang unpredictable (tidak dapat diprediksikan), dengan emosi bettulan yang dipompa habis-habisan. Biasanya, itulah cikal bakal tsunami kehidupan rumah tangga. Itulah yang kerap mengubah sebuah perkara kecil menjadi malapetaka yang cenderung kolosal.
Anak kecil tak pernah marah sungguhan. Seorang wanita juga tak jauh dari itu. Kalaupun ia terlihat marah meluap-luap, itu hanya letupan emosi yang sesungguhnya ia sendiri juga amat menyesalinya. Namun, jangan coba-coba membiarkan emosi itu terus meledak-ledak. Seringlah berbicara dengan bahasa hati, niscaya celah-celah untuk memperbaiki “kebengkokan” wanita itu terkuak sedikit demi sedikit. “Kalau begini, apa Adik masih marah juga?.”

BANYAKLAH MELAKUKAN “AKSI”, ANDA AKAN MENGERTI...
Saya sering menyarankan, agar kita meneladani betul sikap hidup Rasulullah shalallohu ‘alaihi wa sallam, seperti yang tergambar dalam sebuah riwayat.
“Beliau (Nabi) yang menjahit kainnya, menjahit sepatunya dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan oleh kaum wanita di rumah mereka.” [2]
Aisyah mengatakan, “Beliau biasanya suka membantu urusan keluarganya. Lalu bila waktu shalat tiba, beliau pergi untuk mengerjakan shalat.” [3]
Mengapa demikian? Pertama, karena beliau adalah teladan kita yang paling utama. Kedua, karena di balik itu banyak rahasia keindahan ajaran Islam yang tersembunyi.
Di antaranya, sikap suami yang menyempatkan diri membantu pekerjaan istri di saat senggang, akan membuat seorang suami memahami betul makna kesibukan seorang wanita.
Aksi yang saya maksud, bukan sekadar membantu pekerjaan istri, tetapi juga melakukan banyak hal yang dapat mengungkapkan rahasia perasaan seorang wanita.
Pernahkah air mata anda menetes, saat melihat seorang tua menangis sesenggukan atas sesuatu yang anda berikan kepadanya? Sesuatu yang sederhana bagi anda, tetapi amat berarti buat orang tersebut?
Di situ, anda merasakan indahnya berbagi. Maka, saat seorang suami banyak melakukan aksi yang membuat mata istri terbelalak kesenangan, air matanya menetes penuh keharuan. Saat itulah anda telah menangkap salah satu kenikmatan meresapi makna-makna keluguan seorang wanita.
Saat istri anda membuat kekeliruan, cobalah memberi maaf selekas mungkin. Cobalah berbicara selembut yang mampu anda lakukan di hadapan orang lain, atau lebih dari itu. Hibur dan besarkan hati istri. Bimbing ia untuk menyadari kekeliruan tersebut, lalu melakukan tobat dengan tulus. Lalu, perhatikan kebahagiaan yang merembes ke dalam hati anda setelah itu.
Bila membuat orang lain memperoleh petunjuk dari Allah dipandang lebih baik dari segala wujud kemewahan duniawi, bagaimana bila orang lain itu adalah istri anda sendiri.
Ah, kenapa harus terus suami yang diwanti-wanti. Ya, memang setiap suami maupun istri punya hak dan kewajiban. Namun saat ini saya ingin mengajak kita bersama merenungkan bahwa banyak dari kekeliruan seorang istri yang berkembang menjadi potensi kekisruhan, akibat keteledoran suami mengantisipasinya.
Bila seorang istri mengetahui betapa beratnya tugas seorang suami membimbing dan mengawal dirinya, ia Akan begitu menyadari apa yang diungkapkan oleh Nabi kepada seorang wanita yang mengklaim di hadapan Nabi bahwa ia sudah berbuat sangat baik terhadap suaminya, “Perhatikanlah, sebatas apa pelayananmu terhadapnya, karena ia adalah surgamu atau nerakamu.” [4]
Dengan keluguannya, bukan berarti wanita tak mampu melakukan hal-hal yang hebat dan mencengangkan. Terlepas, apakah hal itu benar atau tidak. Pada dasarnya, keluguan itulah kekuatan sesungguhnya pada diri wanita.
Dengan keluguannya, wanita begitu telaten mengerjakan banyak hal penting yang kerap dipandang sebelah mata. Mencuci piring, menyulam, menemani anak bermain, menidurkan bayi, menyusui anak, menyusun pakaian, menjemur dan mengangkat kembali jemuran itu bila tiba-tiba turun hujan. Pekerjaan-pekerjaan yang dianggap remeh, tetapi membutuhkan keluguan seseorang untuk dapat konsisten melakukannya. Seorang lelaki, hanya mau bekerja mencuci piring yang terkesan menyebalkan itu, bila ia diberi upah yang layak di sebuah rumah makan, kafe, atau restoran misalnya.
Keluguan wanita adalah senjata utama sehingga ia mampu melakukan tugas-tugas rumah tangga yang menjadi fithrahnya dengan sesempurna mungkin, jauh dari yang mungkin dilakukan pria manapun. Namun keluguan itu juga senjata yang bila tidak diwaspadai, bisa membuat kecerdasan seorang suami yang sepintar apapun bisa saja terlucuti...

Footnotes:
[1] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam shahihnya dalam kitab An-Nikah, bab: Orang-orang yang menyikapi wanita dengan baik, hadits No. 5186. Diriwayatkan juga oleh Muslim dan shahihnya dalam kitab Ar-Radhaa’, bab: Menyikapi wanita dengan baik, hadits No. 1467.
[2] Fathul Bari, jilid 13, hlm. 70.
[3] Muslim, kitab “Puasa” bab “Larangan Berpuasa Setahun Penuh”, jilid 3 hlm. 163.
[4] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (IV : 304). Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (IV : 341). Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, juga oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid (I : 170). Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Sunan-nya (VIII : 291)
Diambil dari majalah NIKAH volume 8 2009 hal. 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar