Senin, 02 Mei 2011

...Kisah Perjuangan seorang Diya.........

Sebut dia, Diya...Diya tersenyum getir dan menunduk ketika teman-temannya mengolok-oloknya. Ia sama sekali tidak mengatakan apapun. Tersenyum saja, lalu menangis tanpa seorangpun yang tahu. Menghilang dalam beberapa hari, kemudian muncul lagi seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Diya gadis pendiam. Penyendiri dan dikenal aneh oleh teman-temannya. Tidak ada satu temannyapun yg tahu latar belakang'y. Ia tidak pernah tampak punya teman dekat baik teman di wisma maupun teman sekampus'y. Sebagian temannya menganggap Diya aneh, tidak... berprinsipil, plin plan. Sebagian lagi tidak peduli dengan'y. Dan sebagian yang lain sesekali menasehati'y sesekali membicarakan'y di belakang'y. Semua'y terjadi karena sesuatu. Sesuatu yg ia pendam sendiri, ia rasakan sendiri dan belum pernah ia paparkan kepada satu orangpun.



Awal keberadaannya di kampus, ia adalah satu dari sedikit mahasiswi yang bercadar. Namun, penampilannya hampir bisa dipastikan tiap dua atau tiga bulan sekali pasti berubah. Dari penampilan yang tertutup rapat plus cadar dan sarung tangan, mendadak jadi rok dan baju lengan panjang serta kerudung yang tidak terlalu besar. Setelah ketahuan demikian, beberapa waktu kemudia ia menghilang, lalu muncul lagi dengan penampilan rapat serba gelap. Dengan keadaan yang demikian, siapa yang tidak menyangka macam-macam? Bahkan tidak hanya tuduhan negatif yang ia terima. Dijauhi dan diboikot pun ia alami. Dan semuanya ia lewati dengan sabar dan tawakal.
Suatu hari Diya datang ke wisma dengan memakai rok panjang, baju lengan panjang dan kerudung kecil. Penampilannya yang demikian selalu ia kenakan setiap kali ia baru saja kembali dari rumahnya. Ini bukan kali pertama, jadi tidak ada yang heran. Semua sudah mengaggapnya hal yang biasa padanya. Jadi kerap kali keberadaannya tidak digubris. Karena Diya sendiri gadis yang agak introvert, ia tidak ambil pusing.
Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Diya ‘bertahan’ dengan penampilannya itu agak lama. Ada kira-kira dua minggu ia tidak memakai jubah, kerudung besar apalagi cadar. Ia juga mulai jarang berada di wisma. Di majelis ta’lim pun jarang nampak. Pergi pagi buta, pulang sore petang. Begitu berhari-hari ia jalani. Ketika salah seorang akhwat menanyakan perihal aktivitasnya di luar kampus, Diya menjawab mengajar privat dan part time di sebuah toko baju. Dan ketika disinggung perihal penampilannya yang sekarang, Diya tidak berkomentar apapun. Bahkan ketika ia dinasehati, ia hanya tersenyum ringan.

Sikap Diya yang makin sulit dimengerti itu akhirnya mau tidak mau sampai juga ke tetua wisma Diya sempat dipanggil dan dinasehati macam-macam. Tapi hal tersebut tidak menjadikan Diya bicara sebagaimana mereka harapkan. Diya tetap diam. Kalaupun merasa terdesak harus menjawab pertanyaan, ia menjawab dengan senyum getir yang dipaksakan.
Diya terus menerus dibicarakan, bahkan dijauhi. Nasehat dari semua temannya –baik di wisma, kampus sampai teman ta’lim terus mengalir untuknya. Hingga suatu hari, ketika hampir semua temannya menasehatinya dalam waktu bersamaan, Diya mulai bicara.
Semua terpana. Tidak menyangka mengetahui sesuatu yang selama ini tidak seorang pun tahu. Diya ambil koper besarnya. Menjatuhkannya di depan teman-temannya, membukanya dan menunjukkan isinya berupa jubah dan cadar yang sobek digunting-gunting.

Tidak ada seorang pun yang bicara saat itu. Yang ada hanya rasa “menyesal” telah lebih banyak bersu’udzon. Ketika suasana hening, Diya bicara tenang dengan ketegaran dan kesabaran yang luar biasa.
Orang tua Diya membenci penampilannya. Bajunya. Cadarnya. Semuanya. Tak pelak, setiap kali Diya pulang, pakaiannya selalu disobek-sobek. Tak disisakan satu pun. Kalaupun kemjdian Diya bisa memakai jubah dan cadar lagi, tidak lain dari honor mengajarnya. Dan nanti, Diya akan kehilangan jubah-jubah dan cadarnya ketika orangtuanya mengetahuinya lagi. Itu seterusnya hingga orangtuanya memboikot uang bulanannya, uang kualiahnya dan semuanya.
Setelah menceritakan semuanya, Diya tersenyum bahagia sambil menunjukkan sebuah bungkusan. Ia berkata pada teman-temannya, “Alhamdulillah, mulai besok, aku bisa memakai jubah dan cadar lagi…”.
***
Dan sungguh, kesabarannya kini membuahkan hasil yang nyata. Atas pertolongan Allah, sikap keras orangtuanya telah melunak. Bahkan ibunya yang dulu adalah orang yang selalu menybek jubah, jilbab dan cadarnya, kini menjadi senang membuatkan jubah dan jilbab untuknya. Dia juga bisa membantu mengarahkan adik laki-lakinya yang mulanya “hancur” menjadi lebih baik dan mengikutinya di jalan al haq yang ditempuhnya. Semoga Allah senantiasa merahmati dan memberikan kebaikan padanya. Amin ya Arhamaarohimiin.


Source: Majalan Elfata edisi 09. Vol. 10-2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar